Pria ini terlahir sebagai anak kampung dari keluarga miskin. Nama dan tampangnya ndeso, pendidikannya pun cuma tamatan SMA. Tapi dengan kerja keras, ia bisa menjadi komedian kondang.
* * *
Waktu lahir, 16 Oktober 1963, orangtuanya memberi nama Riyanto. Tapi karena sakit-sakitan, namanya kemudian ditambah menjadi Tukul Riyanto. Dalam bahasa Jawa, “tukul” berarti tumbuh. Dengan nama baru itu, orangtuanya berharap anak mereka tumbuh sehat, tidak lagi sakit-sakitan.
Di kampungnya, Perbalan, Purwosari, Semarang, keluarga Tukul terkenal suka mbanyol. “Orang-orang kampung bilang bapak saya itu lebih mbanyol daripada saya,” kata Tukul memulai kisahnya. Mewarisi sifat mbanyol bapaknya, Tukul kecil pun tukul sebagai bocah yang suka ngelawak.
Sejak SD, bocah yang lebih dikenal sebagai Riyanto ini, terkenal gemar bikin banyolan dan suka menjaili teman-temannya. Akibat kejailan ini ia kerap mendapat hukuman dari gurunya.
Karena bakatnya ini, ia sering diminta tampil mengisi acara hiburan pada saat peringatan tujuh belasan di kampung. Awalnya cuma acara tingkat RT. Lalu diundang di acara tingkat RW. Kemudian tingkat kelurahan.
Sejak itu popularitasnya sebagai tukang kocok perut terus menanjak. Berkali-kali Tukul Riyanto memenangi lomba melawak. Mulai dari tingkat kelurahan sampai tingkat Kotamadya Semarang. “Kalau ikut lomba ngelawak, saya ini jarang kalah. Biasanya menang juara satu atau dua,” tuturnya dengan mimik muka bangga setengah melucu.
Sampai di sini, nasib baik belum berpihak kepadanya. Prestasinya di panggung lawak tidak diikuti kesuksesan dalam urusan ekonomi. Piagam-piagam juara melawak itu tidak bisa ia gunakan untuk mencari pekerjaan. Maklum saja, di Semarang saat itu, bakat ngelawak cuma berhenti sebagai bakat. “Ya cuma menang gitu aja. Enggak ada kelanjutannya sebab memang enggak ada tempat untuk mengembangkan kreativitas,” ujar pria berkumis pulisi (mengumpul di dua sisi) ini.
Untuk menyambung hidup, ia menjadi sopir angkutan kota di Semarang. Bergantian dengan adiknya, ia juga menjadi kernet. Selama bertahun-tahun ia menjalani profesi ini.
Sekitar tahun 1985, seorang kawannya mengajak hijrah ke Jakarta. Awalnya ia menolak karena merasa takut. Di Jakarta, ia tidak punya sanak saudara. Padahal yang ia tahu, hidup di Jakarta tak mengenal belas kasihan. Lu, lu. Gue, gue. Di Semarang, ia memang susah mencari pekejaan. Penghasilannya sebagai sopir dan kernet tidak seberapa. Tapi di sini ia punya keluarga yang setiap saat siap membantu jika diminta.
Tapi akhirnya ia kalah juga oleh desakan kawannya. Tahun itu, ia memutuskan hijrah ke Ibu Kota dengan niat agar bisa mengembangkan bakatnya sebagai pelawak.
Tidak ngetop-ngetop
Awal di Jakarta, ia menumpang tinggal di rumah kontrakan seorang kawannya. Mulanya Tukul mengira kawannya ini hidup makmur, tak tahunya sama miskinnya dengan dia. Rumah petak kontrakannya hanya beberapa meter persegi. Tidur berjejal, satu kamar mandi dipakai banyak orang, mencuci baju sendiri, makan seadanya.
Di Jakarta, ia mencoba mengadu keberuntungan dengan mengikuti lomba-lomba lawak. Beberapa kali ia memenangi lomba lawak tingkat DKI Jakarta. Tahun 1989, ia bahkan menjuarai lomba lawak minikata tingkat nasional. Tapi sampai di sini pun, nasib baik masih belum berpihak kepadanya.
Mulanya ia menyangka begitu memenangi lomba, orang-orang bakal mencarinya. Tapi rupanya dugaannya meleset. Meskipun berkali-kali memenangi lomba melawak, ia tetap tidak mendapat order melawak. “Mungkin karena saya waktu itu tidak punya nomor telepon. Jadi meskipun juara berkali-kali, saya enggak ngetop-ngetop. Enggak ada yang nyari,” kata pelawak yang bisa memonyongkan mulut mirip mulut ikan Arwana ini.
Akhirnya ia mencoba keberuntungan dengan melawak di Pasar Seni Ancol. Menurut kepercayaan waktu itu, pelawak yang bisa membuat orang ketawa di sana, berarti dia bakal bisa hidup di Jakarta dari profesi sebagai pelawak.
Lagi-lagi, sampai di sini pun dugaannya meleset. Ia bisa membuat para pengunjung Pasar Seni Ancol terpingkal-pingkal tapi ia tetap tidak mendapat undangan melawak. “Tetep aja enggak ada yang nyari saya,” katanya sambil ngakak.
Gagal lewat Pasar Seni Ancol, ia mencoba melamar menjadi penyiar di stasiun radio SK (Suara Kejayaan) FM. Stasiun radio ini dikenal sebagai tempat lahirnya para komedian. Tapi sekali lagi, Tukul masih belum beruntung. Pihak radio SK FM tidak menerima lamarannya karena ia hanya punya ijazah SMA. Sedangkan pihak SK FM menetapkan syarat minimal penyiar adalah D3.
Tak terhitung berapa kali kawan-kawannya mengganti julukannya dengan maksud agar gampang kondang. Mulai dari Tukul Kelawu Kethek, Tukul Piranha, Tukul Julung-julung, Tukul Mujair, Tukul Sapu-sapu hingga yang terakhir Tukul Arwana. Maksudnya agar bisa terkenal seperti ikan Arwana. Tapi sampai di sini nama Tukul Arwana masih belum membawa hoki.
Karena mulai bosan, ia kemudian banting setir. Tidak lagi menekuni dunia lawak, tetapi memegang setir. Betul-betul setir. Kali ini profesi yang ia pilih tidak jauh-jauh dari profesi sebelumnya saat masih di Semarang, menjadi sopir. Bedanya, di Semarang ia menjadi sopir angkutan kota. Di Jakarta, ia menjadi sopir pribadi.
Dua kali ia sempat berganti majikan. Saat itu sebetulnya ia tidak begitu hapal peta Jakarta, tapi ia memaksa diri menjadi sopir karena harus menyambung hidup. Selama empat tahun menjadi sopir pribadi, ia biasa bekerja keras. Bangun dan bekerja malam adalah kehidupannya sehari-hari.
Tahun 1994, setelah sembilan tahun berada di Jakarta, ia hampir saja putus asa dan berencana kembali ke kampung. Apalagi waktu itu grup lawak Bagito sedang kondang-kondangnya. Saat itu Miing, Didin, dan Unang mengubah citra lawak sebagai sesuatu yang intelektual. Materi lawakan harus cerdas. Pelawak harus berwawasan luas, banyak membaca, dan tahu banyak urusan. Padahal lawakan yang biasa Tukul bawakan adalah lawakan model guyonan yang tidak cerdas, kadang memakai bahasa fisik. Wajar saja, Tukul memang cuma jebolan SMA.
Berubah karena buku
Untungnya, sebelum benar-benar memutuskan balik kampung, ia mendapat hadiah dari seorang kenalannya. Hadiah itu berupa sebuah buku. Judulnya Petunjuk Menikmati Hidup dan Pekerjaan Anda. Penulisnya Dale Carnegie, seorang penulis buku-buku pengembangan diri yang beken asal Amerika Serikat. “Kalau kamu mau mengubah nasib, baca buku ini! Jangan cuma mengeluh terus! Jangan berjiwa miskin!” katanya menirukan ucapan kenalannya itu.
Dibacanya buku itu sampai tamat. Di luar dugaan, ternyata buku itu betul-betul mengubah hidupnya. Ia tidak jadi pulang kampung. Sejak itu ia punya kegemaran baru yaitu membaca buku, terutama buku-buku kejiwaan. Sebelum itu, teman-temannya meledek dia plonga-plongo, tidak tahu apa-apa. Tapi begitu rajin melahap buku, Si Piranha ini menjadi jauh lebih percaya diri.
Tahun 1995, ia melamar lagi di radio SK FM. Kali ini dewa keberuntungan sudah berpihak kepadanya. Meskipun ijazahnya tidak bertambah, ia diterima sebagai penyiar. Di stasiun radio komedi inilah ia banyak belajar tentang lawakan taktis, lawakan cepat, dan lawakan ala Jakarta. Model-model lawakan yang sebelumnya tidak ia kuasai.
Tahun itu juga, Tukul yang saat itu berusia 32 tahun, menikah dengan Susiana, gadis asal Solok, Sumatera Barat. Di masa-masa awal pernikahan, mereka berdua hidup prihatin. Hidup di rumah kontrakan, ekonomi keluarga masih seret.
Tahun 1997, ia mendapat tawaran untuk tampil di video klip Joshua untuk lagu Diobok-obok. Dari situlah wajahnya mulai dikenal di televisi. Lagu itu laris manis di pasaran. Joshua terkenal. “Tapi saya sendiri masih enggak ngetop-ngetop,” ucapnya dengan tawa lepas.
Setahun berikutnya ia kenal dengan Tarsan, Jujuk, Kadir, dan para anggota grup lawak Srimulat lainnya. Mulanya ia diberi kesempatan tampil sebagai bintang tamu di Srimulat. Kesempatan ini tidak ia sia-siakan. Lawakannya ternyata cocok dengan gaya Tarsan dan kawan-kawan. Perkenalannya dengan para awak Srimulat ini menjadi awal dari kariernya yang terus menanjak setelah itu. Setelah terkenal lewat Srimulat, ia juga sering diundang sebagai bintang tamu di acara Ketoprak Humor.
Saat itu Tukul masih seorang pendatang baru di tengah-tengah para pelawak yang lebih dulu kondang. Sebagai pemain baru, ia tidak mau hanya berhenti sebagai pelawak figuran. “Saya harus menciptakan lawakan saya sendiri. Saya tidak mau meniru orang lain. Kalau bisa malah ditiru orang lain,” tekadnya waktu itu.
Maka ia pun mengembangkan kreasi lawakannya sendiri. Mulai dari menciptakan tepuk tangan yang mirip gerakan mengocok kartu remi, bicara sok pintar dengan bahasa Inggris yang asal njeplak, hingga memperkenalkan diri sebagai Reynaldi, seorang Cover Boy. “Daripada menjelekkan orang lain, dalam melawak, saya lebih suka memutarbalikkan logika. Yang punya nama Reynaldi itu ‘kan biasanya cakep, bermata biru, kulit putih bersih. Kalau saya ‘kan yang biru bukan matanya, tapi kulitnya,” katanya terkekeh-kekeh.
Sejak kondang bersama Srimulat, ekonominya mengalami lompatan yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Biasanya ia hanya memberi istrinya uang belanja beberapa ribu atau beberapa puluh ribu saja. Tapi begitu mendapat banyak order melawak, ia memberi istrinya likuran (dua puluhan) juta rupiah.
Istrinya pun terkaget-kaget. Maklum saja, sebelumnya mereka tidak pernah memegang uang sebanyak itu. Saking senang dan kagetnya, istrinya tidak bisa mengatur pengeluaran. “Apa saja dibeli. Lemari es, meja, kursi, pokoknya semua isi rumah dibeli. Padahal waktu itu rumah masih ngontrak,” kenang Tukul.
Tak dinyana, ternyata undangan melawak setelah itu sepi lagi. Padalah kantong sudah telanjur tipis. Pengalaman pertama ini membuat mereka berdua belajar tentang manajemen belanja. Ketika undangan melawak ramai lagi, mereka lebih berhati-hati dalam mengatur keuangan.
Sejak kondang bersama Srimulat, kariernya sebagai pelawak terus melesat. Bahkan menyamai para personel Srimulat. Undangan melawak datang dari sana-sini. Tak hanya melawak, ia juga diajak main sinetron, bahkan belakangan membawakan acara talk show. Rezekinya pun terus mengalir. Menurut istilahnya, ekonomi keluarganya naik ke tingkat “alhamdulillah”.
Meski sudah terkenal dan banyak duit, Tukul tetap Riyanto yang sederhana dan bersahaja. Meskipun penghasilan bulanannya mengalahkan gaji manajer perusahaan gede, ia tidak mengenal kartu kredit. Sehari-hari ia makan seperti biasanya. Lidahnya tetap lidah kampung. Seleranya tidak jauh dari oseng-oseng kangkung, telur mata sapi, sambal, petai, dan teh manis. Jika disuguhi makanan-makanan ala restoran, misalnya saat pengambilan gambar untuk acara televisi, biasanya makanan itu ia berikan kepada orang lain.
Camilannya kegemarannya pun tidak lazim untuk orang kaya, bawang goreng. Saat mengobrol dengan Kisah, tak henti-hentinya Tukul Mujair mengunyah timun. “Untuk menghilangkan bau bawang,” katanya enteng. Dalam menjalani hidup, ia memakai pandangan sego mblenyek, ati legowo siap di-nyek (selalu berlapang dada, tak takut direndahkan).
Meski sudah kaya raya, Tukul Julung-julung juga tipe lelaki yang tidak gampang tergoda oleh perempuan. “Istri saya satu, bukan baru satu,” ujarnya sambil terus mengunyah timun. Yang ia maksud, dia tidak seperti sebagian pelawak lain yang begitu punya uang banyak, lantas menikah lagi.
Di kalangan rekan-rekan kerjanya, Tukul bukan hanya dikenal sederhana, tapi juga sangat disiplin. Ia selalu berusaha keras untuk tidak mengecewakan pihak yang memberinya job. Jika diminta datang pukul sembilan, ia biasanya datang pukul delapan atau bahkan pukul tujuh. Tidak alasan macet atau bangun kesiangan. “Saya ini menerapkan disiplin gaya militer,” katanya mantap dan tegas. Cocok sekali dengan potongan rambutnya yang cepak, mirip kotak biskuit itu.
Disiplin dan kerja keras ini pula yang ia terapkan supaya tetap bisa bertahan di tengah persaingan dengan pelawak-pelawak baru yang terus lahir. Meskipun hanya lulusan SMA, ia tidak mau ketinggalan info-info terbaru yang sedang hangat. Dalam sehari, ia biasa melahap dua sampai tiga koran untuk menambah pengetahuan.
Pengetahuan baru inilah yang ia ramu sebagai bahan lawakan. Jika orang-orang sedang membicarakan David Beckham, si “Reynaldi” pun melawak dengan materi ini. Saat media massa ramai memberitakan film Kingkong, si Tukul Kelawu Kethek pun melawak dengan materi ini.
Tak hanya koran yang ia lahap. Buku-buku kejiwaan termasuk bacaan yang menjadi santapan kegemarannya. Termasuk buku-buku Dale Carnegie. Tak mengherankan, ia mengaku bisa membaca karakter orang. Bisa membedakan seorang pekerja keras dan seorang pemalas.
Ia mengaku paling tidak senang dengan pemalas yang suka mengeluh. Sehari-hari ia memang membina para pelawak pendatang baru yang belum terkenal. Kepada mereka, Tukul mengajarkan semangat dan kerja keras. Kalaun mau berubah, tak perlu menunggu besok! Harus mulai sekarang! Kalau ingin mencapai sesuatu, harus ada energi dan keringat yang dikeluarkan. “Hidup itu harus kristalisasi keringat,” katanya tegas tanpa bermaksud melucu, sambil mengeluarkan timun dari saku celananya.
Sumber : Tukul “Reynaldi” Arwana Fans Club